Dalam suasana hari raya seperti Lebaran, para lajang dewasa muda dihadapkan kepada pertanyaan "Kapan nikah?". Jarang saya menemukan teman yang bersemangat menanti pertanyaan ini--biasanya "Kapan nikah?" dianggap pertanyaan menyebalkan yang diajukan oleh orang-orang tidak peka.
Saya sendiri tidak perlu khawatir, karena kapan pun jarang sekali pertanyaan ini diajukan kepada saya. Orang-orang yang cukup mengenal saya tahu bahwa saya sedang kuliah ("Bagaimana kuliahnya?" dan "Kapan lulus?" lebih sering diajukan kepada saya). Orang-orang yang kurang mengenal saya biasanya tidak sadar saya sudah berusia dua puluhan--ini salah satu keuntungan berpenampilan (dan bertingkah) jauh lebih muda daripada usia, hahaha.
Saya sendiri tidak perlu khawatir, karena kapan pun jarang sekali pertanyaan ini diajukan kepada saya. Orang-orang yang cukup mengenal saya tahu bahwa saya sedang kuliah ("Bagaimana kuliahnya?" dan "Kapan lulus?" lebih sering diajukan kepada saya). Orang-orang yang kurang mengenal saya biasanya tidak sadar saya sudah berusia dua puluhan--ini salah satu keuntungan berpenampilan (dan bertingkah) jauh lebih muda daripada usia, hahaha.
Tapi alasan sebenarnya saya jarang mendapati pertanyaan "Kapan nikah?" itu adalah saya jarang bertemu keluarga besar--bertemu tetangga pun sebentar-sebentar saja. Saya menjaga jarak dari banyak orang demi konsentrasi kepada kuliah saya. Mengapa demikian? Penjelasannya rumit dan terlalu personal, jadi kita lewati saja ya.
Soal kuliah ini memang banyak berpengaruh kepada pikiran saya tentang jodoh ini. Saya kuliah tinggi, pada jenjang yang mana banyak orang pikir akan menyulitkan perempuan untuk mendapatkan jodoh. Pikiran saya sederhana saja soal ini, Allah sudah menentukan jodoh setiap manusia, jadi buat apa saya khawatir soal dapat jodoh? Nanti juga kami bertemu dan bersatu. Kalaupun ada yang perlu dikhawatirkan, itu bukan anggapan orang lain tentang pendidikan duniawi saya, melainkan ilmu agama saya yang memang memprihatinkan.
Saya berencana menuntaskan jenjang ilmu duniawi ini, lalu mendalami ilmu agama, barulah mencari jodoh yang pasti ada tapi belum tentu sudah saya kenal sekarang. Selain itu, saya berutang menyenangkan ibu dan membimbing adik-adik dulu. Jadi, kalau harus menjawab "Kapan nikah?" dengan hitungan jelas, jawaban saya, "Semoga tiga atau empat tahun lagi." Iya, masih lama, dari dulu memang saya tidak ingin menikah muda (sebelum umur 27).
Sehubungan dengan "masih lama" ini, saya berkesimpulan sebaiknya saya tidak "jadian" dengan siapa-siapa. Pada usia dua puluhan, "jadian" itu semacam janji untuk menjalin hubungan hingga pelaminan (ini saya sok tahu saja, saya kan tidak pernah "jadian"). Maka daripada saya memberikan janji sulit begitu, lebih baik saya tidak "jadian".
Tapi tidak memberikan janji sepertinya tidak sama dengan tidak menumbuhkan harapan. Yah, saya perempuan biasa, kalau ada laki-laki menarik ya saya tertarik juga. Saya cuma bermaksud berteman dan mengobrol, sementara perasaan ini bisa saya simpan sendiri dan suatu saat akan berlalu, tenggelam oleh kegiatan dan kesibukan. Hanya saja, saya tidak bisa mengendalikan apa yang dirasakan teman laki-laki saya. Oleh karena itu, kalau memang ada yang berharap, saya cuma bisa mohon maaf atas kelakuan saya yang menimbulkan harapan itu. Saya belum mau menikah dan tidak mau pacaran/jadian/beri janji apa-apa.
Singkatnya, saya percaya jodoh tidak akan tertukar dan jodoh akan bertemu pada waktu yang tepat, jadi tidak ada yang harus diburu-buru dengan "menikah dulu baru lanjut kuliah" atau dipaksakan dengan "jadian".
(... Kalau tulisan ini juga dibaca teman yang saya suka, ya sudahlah. *meringis*)
No comments:
Post a Comment
Please add your comment here. Thank you ^^