(Cerpen ini diikutsertakan pada ajang Fantasy Fiesta 2011.)
Langit di atas kastil bagaikan tumpahan tinta yang diperciki garam, tapi titik-titik garam yang seharusnya asin itu malah berpendar menyala. Bahkan, di mataku, semua titik berkilauan itu sedang menjulurkan tangan dan kaki mereka, menari-nari berusaha menggapaiku.
Begitu pula aku.
Kedua tanganku yang terulur ke depan kunaikkan perlahan, merasakan setiap jengkal gerakanku dibanjiri kekuatan cahaya bintang. Satu tangan terentang ke atas sementara tangan lainnya menebas ke samping dengan cepat. Maka kukerahkan tenagaku, jiwa dan ragaku, dalam tarian apiku malam ini.
Aku melompat ke samping dengan kaki terentang jauh, lalu mendarat di lantai batu yang sedingin tanah di tepi sungai sambil berjinjit dan melengkungkan punggung ke belakang.
Hangat dalam dadaku yang sudah terasa akrab sejak kelahiranku di pulau ini pun merengkuhku. Kemudian hangat itu menggeliat sampai ke sendi tangan dan kakiku, lalu ke ujung-ujung jariku. Hangat itu pun naik ke dalam mataku, dan merambat ke setiap helai rambutku.
Hangat ini memanas. Bagi orang lain, rasa ini akan membakar mereka, tapi tidak sedikit pun bagiku.
Aku menerimanya bagaikan kawan lama yang telah pergi, bagaikan kekasih hatiku yang sejak dahulu sekali dipisahkan dariku oleh nasib. Kupejamkan mata dan mengembuskannya sedikit demi sedikit sambil membuka mataku lagi. Setiap gerakanku seakan mengikuti irama musik yang hanya didengar aku dan teman-temanku di langit.
Lentera-lentera gantung yang semula hampir padam mendadak mekar menerangi malam. Aku melompat kecil lalu berlari dalam lingkaran yang kadang berbelok dan berbelit, sesuai tuntunan mereka yang menari bersamaku di lautan tinta di atas sana.
Tampak di sudut mataku hamparan di kaki bukit tempat kastil kastil ini didirikan bagaikan kolam kosong yang hening ditebari kunang-kunang. Mendadak kota hidup dan segenap penduduknya berlarian keluar.
Aku menjatuhkan diriku duduk di tengah lingkaran maya yang kubuat dengan langkah-langkahku tadi. Orang lain boleh melihat gerakanku bagaikan bunga yang terhempas angin ke kiri dan kanan, setiap helai kelopaknya menebah-nebah berusaha bertahan.
Tidak. Aku sedang mekar.
Aku adalah api yang sedang mengembang dengan liar. Setiap goyang dan jentik dari sudut-sudut tubuhku memancarkan kekuatan tersendiri.
Seiring semakin cepatnya gerakanku, semakin luas jugalah hamparan yang menyala lentera-lenteranya.
Ketika nyala yang kutabur sudah hampir mencapai batas kota dengan laut, aku mendorong kedua tanganku dari depan perutku terus ke depan dadaku. Lalu kusentakkan kedua tanganku itu ke atas kepalaku.
Setiap lentera di ujung kota sudah menyala ketika aku berbaring. Sedikit saja hangat yang tersisa dalam dadaku. Pun itu terus turun dan menyusut ke perutku.
Tenagaku terkuras habis. Rasanya tubuhku menyerupai seonggok pasir lengket yang langsung mengering dan terurai begitu angin meniupku.
Kawan-kawanku di langit berhenti menjulurkan tangan dan kakinya. Pendar mereka melemah hingga kelipnya kembali seperti biasa lagi di tempatnya masing-masing. Mataku pun meredup.
Inilah pengabdianku setiap malamnya.
*
Kelopak mataku memisahkan diri dari pasangannya masing-masing ketika kurasakan langkah kaki. Langkah kaki itu halus dan mungkin tak terdengar di telingaku, tapi aku merasakannya dari panas udara yang bergeser.
Aku segera mengangkat tubuhku agar duduk, lalu berusaha berdiri.
Dia berusaha meraihku, tapi aku menepisnya dan mundur.
Dewa muda itu, Juna, memandangiku dengan geli. Salah satu sudut bibirnya yang sempurna tertarik ke samping. Matanya yang sebening Laut Khatulistiwa menyahut mataku.
“Kau pasti lelah. Mari kubantu,” Juna mengulurkan satu tangannya kepadaku.
“Syukurku untukmu, tapi roh api dan cahaya masih bersamaku,” aku membentuk segitiga dengan jari-jari tanganku dan menekuk kakiku sedikit.
“Ayolah, jangan kaku begitu,” Juna mendekat kepadaku. Matanya yang setajam mata rajawali. Rambutnya yang sedikit bergelombak terjuntai ke alisnya yang lebih tegas dan menggoda daripada iringan semut mana pun. Juga tidak ada lebah bergantung yang bisa menghasilkan madu semanis dagunya.
Rakyat jelata selalu mengira para dewa bisa mengubah rupa mereka setiap hari. Sejak aku tinggal di kastil bersama mereka, seberapa pun jarangnya aku melihat mereka, aku tahu itu tidak benar. Mereka bisa mengubah warna rambut dan kulit dalam rentang rona warna tertentu, dan proses setiap perubahannya memakan waktu lebih dari satu minggu. Tapi mereka tidak bisa mengubah bentuk.
Itu berarti Juna memang rupawan. Ditambah lagi, malam ini rupanya Juna mencapai puncak rona kulit keemasan dan rambut sewarna kipas cendana. Aku tahu dia sudah memulai proses itu sejak dua minggu yang lalu. Sebelumnya, dia mencoba kulit yang hampir sewarna kapur dan rambut segelap batu kali.
Aku tahu, karena dia sering sekali mengunjungiku.
Namun, aku tidak pernah lupa. Sesempurna apa pun para dewa di mata rakyat jelata sebagaimana di mataku pula dulu, sebenarnya semata makhluk berbudi lapuk dan lalai. Tidak satu pun di antara mereka yang layak diberikan kesempatan untuk masuk ke dalam hidupku.
Apalagi mereka telah merenggutku dari orang-orang yang paling kucintai. Apalagi mereka menyekapku di puncak kastil ini untuk menari setiap malam hingga kadang-kadang aku merasa hampir mati.
Tapi tarianku jugalah yang membuatku tetap bertahan hidup. Tarianku jugalah yang membuat saudara-saudaraku di bawah sana, rakyat jelata, bisa menikmati hangatnya api dan terangnya cahaya setiap malam di pulau ini.
Dengan terus mengabdikan tarianku pula, aku berkesempatan menemui orang-orang terkasihku semusim hujan sekali saat merayakan Kelahiran Pulau Putih yang hanya terpaut beberapa hari lagi.
“Semoga kekuatan dewata melindungimu selalu,” pamitku sebelum turun ke lantai paling atas kastil tempat kamarku berada.
Persetan dengan kekuatan dewata. Bukan mereka yang melindungi rakyat jelata. Kamilah yang membanting tulang demi kelangsungan hidup setiap insan di pulau ini hari demi hari. Sementara para dewa menggelar pesta setiap malam dari hasil panen rakyat jelata dan tidur sepanjang hari, kamilah yang menjaga semua orang agar tetap hangat, terlindung dari bencana, dan berkecukupan.
Ya, kamilah, para Penyihir Pulau Putih, yang selalu berjuang melindungi rakyat pulau ini.
*
Aku sedang baru selesai mengenakan jubah sutra berpotongan khas Penyihir Pulau Putih, warna api dan cahaya untukku, ketika mendengar ada yang mengetuk pintuku.
Seorang abdi menungguku di balik pintu. Katanya sebentar lagi rombongan kami, para penyihir, akan berkumpul di pekarangan depan kastil untuk bersiap-siap berangkat ke kota. Abdi itu adalah seorang wanita yang hanya lebih tua beberapa musim hujan dariku, tapi wajahnya sudah kusut akibat letih dan rambutnya kusam kurang terawat. Aku tak heran. Ia sudah berada di sini sama banyaknya dengan jarak usia kami tanpa pernah keluar dari lingkungan kastil satu kali pun.
Si abdi memandangiku dengan penuh arti, lalu memperlihatkan sehelai sapu tangan jahitan sendiri di atas kedua telapak tangannya. Tangannya lecet dan ujung kuku-kukunya berwarna merah campur ungu. “Untuk anak perempuanku, kalau-kalau kau bertemu dengannya,” katanya dengan suara lirih.
Aku mengulurkan sebelah tanganku. Wanita itu mengikatkan sapu tangan itu di pergelangan tanganku yang terulur.
“Anakku memakai selendang berwarna jeruk setiap hari Kelahiran Pulau Putih,” wanita itu menambahkan. Kulihat air matanya menggenang saat membayangkan anak perempuannya.
Aku mengangguk, “Aku akan mencarinya.”
Si abdi membentuk segitiga dengan jari-jari tangannya, “Syukurku untukmu,” dan menekuk kakinya, “semoga kekuatan dewata melindungimu selalu.”
Senyumku teriris saat memperhatikan wanita itu pergi. Tadi suasana hatiku cerah karena sendiri akan menemui putraku hari ini, tapi kini aku merasa tak pantas bersenang hati karena para abdi seperti wanita tadi tidak mendapatkan kesempatan yang sama.
*
Cuaca sedikit berawan, tapi hari Kelahiran Pulau Putih tetap diadakan dengan meriah. Arak-arakan para dewa yang dimaksud adalah para dewa menaiki beberapa gerobak besar yang masing-masing ditarik lembu-lembu perkasa. Setiap gerobak dan lembu itu dihias seindah mungkin dengan untaian bunga melati, anggrek, dan kembang sepatu. Pasti abdi yang menghampiriku tadi pagi bekerja semalam suntuk merangkainya.
Teringat abdi itu, aku menebarkan pandanganku ke seantero rakyat jelata yang berdesakan di pinggir jalan untuk menonton arak-arakan. Pohon-pohon yang berselang-seling di pinggir jalan juga dipanjati banyak pemuda agar bisa melihat dengan lebih jelas. Aku mencari-cari dengan mataku dari bagian belakang gerobak tengah sambil tetap menari pelan-pelan agar dua obor di setiap ujung gerobak menyemburkan api secara bersamaan. Dengan keberuntungan yang dihadiahkan oleh para dewa (ini juga ungkapan yang omong kosong belaka), aku menemukan anak perempuan yang dimaksud di deret depan massa ketika hampir mencapai alun-alun.
Kulepaskan sapu tangan dari pergelangan tanganku untuk kugunakan sebagai pelengkap tarianku. Anak perempuan itu sudah hampir menjadi seorang gadis. Bahkan dari jauh, aku bisa melihat selendang berwarna jeruk yang dihampirkan di bahunya sudah terlalu kecil untuknya.
Aku berputar lembut satu kali, lalu ketika api menyembur dari gerobakku, sapu tangan itu kulempar ke udara. Selembar kain itu pun terbang tinggi. Aku dapat merasakan mata Juna, berada di gerobak yang sama denganku, mengikuti sapu tangan yang melayang-layang itu saat aku mengatur panas udara agar mengantarkannya kepada anak perempuan berselendang warna jeruk.
Ketika tangan anak perempuan yang terulur itu menyentuh sapu tangan, orang-orang di sekelilingnya bersorak. Mereka kira itu bagian dari pertunjukan. Anak perempuan itu membentuk segitiga dengan jari-jarinya dan tersenyum kepadaku sambil menekukkan kakinya.
Aku hanya tersenyum dan melanjutkan tugasku.
Setiap gerobak berisi satu penyihir yang bisa melakukan atraksi sepertiku. Ada pria paruh baya di gerobak di depanku, dengan jubah berwarna laut, bergantian denganku memancarkan air dari dua batang bambu di ujung depan gerobak. Penyihir di atas gerobak di belakangku, dengan jubah berwarna langit, membunyikan alat-alat musik tiup rumit yang ditempatkan di dekatnya dengan bersenandung pelan saja. Musiknya itu menjadi alunan pengiring arak-arak ini.
Penyihir-penyihir lain yang kekuatannya tidak bisa dijadikan pertunjukan (beruntunglah mereka!), membuntuti kami di atas lembu-lembu yang sedikit lebih kurus. Aku lihat pria renta dalam jubah berwarna tanah dengan letih menunggangi lembunya di tengah barisan lembu untuk penyihir, tapi matanya dengan penuh semangat mencari-cari di antara kerumunan rakyat jelata. Begitu pula penyihir-penyihir lainnya. Bahkan, ada penyihir muda berjubah warna pasir yang sekuat tenaga melambaikan tangannya kepada seseorang di tengah keramaian.
Tiba-tiba gerobak kami terhenti. Aku heran karena kami belum sampai di alun-alun. Di sana kami akan berhenti agar para dewa bisa memimpin berbagai nyanyian syukur atas kelahiran pulau ini. Sementara itu, para penyihir secara bergantian menemui keluarga masing-masing di salah satu sudut alun-alun.
Plok!
Aku langsung berbalik dan melihat Juna dengan bingung memegangi sudut luar alis kirinya yang berlumuran cairan kuning lengket.
Plok! Plok!
Satu telur mengenai pagar. Satu lagi mendarat di dekat kaki Juna.
Ketika ada telur yang mengincarku, aku menyemburkan api untuk menghambatnya. Tapi tindakan itu hanya membuat telurnya terasa panas ketika menyerempet wajahku.
Terdengar seseorang berkata dari atas, “Jangan penyihir!”
“Mereka sama busuknya dengan dewa!”
“Tidak!”
Aku mendongak dan melihat para pemuda di dahan pohon sedang menunjuk-nunjukku. Juna berdiri mendekatiku, lalu menempelkan tangannya di pipiku. Kali ini aku membiarkannya menyentuhku. Hangus di pipiku langsung hilang.
“Kalian lihat, tangan dewa itu bisa menyembuhkan si penyihir! Di mana dia setelah adikku terperosok sehingga kakinya pincang?”
“Di mana dia ketika ibuku demam sampai meninggal?”
Rakyat jelata tumpah ke jalan, merongrong semua gerobak. Para dewa memandangi rakyat jelata dengan dingin, tidak menghiraukan gerobak mereka bergoyang-goyang.
“Kami sakit dan kelaparan sementara kalian menyuruhku kami bernyanyi memuja-muji kalian!”
“Hujan sudah lama tidak turun, padahal kalian bisa menurunkannya bagi kami!”
Tiba-tiba saja terdengar ledakan yang memekakkan telinga. Salah satu pohon berderak dan rubuh perlahan-lahan. Orang-orang berlarian menjauh ketika pohon itu ambruk akibat berat rimbunnya sendiri. Para pemuda yang selamat dari pohon itu berteriak-teriak memuntahkan sumpah serapah. Ada yang berteriak kesakitan, rupanya kaki salah satu dari mereka terimpit batang pohon.
Aku melihat Dewa Toga di gerobak paling depan. Tangan kirinya menunjuk pohon yang ambruk tadi, sementara tangan kanannya direntangkan ke langit seperti hendak menjabat tangan yang tak kasat mata. Mata sang dewa bersinar seterang kilat, lalu dia menggeser tangannya ke arah pohon lain. Semua pemuda yang memanjati pohon itu turun secepat kera. Orang-orang lain juga berhamburan menjauh dari gerobak, dari pohon, dari jalan.
Awan menebal di atas kami ketika Toga dengan murka menyambar pohon yang ditunjuknya, juga pohon berikutnya.
Pohon yang disambarnya kedua tadi terbakar. Aku cepat-cepat berusaha menenangkan api yang datang tak diundang itu. Kedua tanganku membelai dari jauh dan membujuknya agar mereda.
Rupanya aku tidak perlu repot-repot karena Dewi Ama, istri Toga, segera menurunkan hujan. Semakin lama hujan itu semakin deras.
Para dewa bisa basah, tapi itu tidak ada bedanya bagi mereka seperti ketika kering. Sementara bagiku, kehujanan seperti ini menumpulkan kekuatanku. Dingin merasuki rongga tubuhku dan mencekik setiap organ tubuhku.
Juna berusaha meraupku ke dadanya. Aku menepisnya, mendorongnya sekuat sisa tenagaku meskipun tahu dia berusaha menyelamatkanku.
“Jangan bodoh. Kau bisa mati kedinginan,” kata Juna sambil menarik sikuku dengan paksa. Aku tahu aku akan kalah, tapi aku tetap melawan.
Karena aku melihat mereka.
Suami dan anak laki-lakiku dalam gendongannya memperhatikan kami dari pinggir sebuah rumah. Dua musim hujan lalu, para dewa menjemputku begitu bulan menggantung di angkasa setelah aku melahirkan anak itu pada siangnya. Seumur hidup aku diajarkan ibuku untuk menyembunyikan kekuatanku, tapi aku tidak sanggup mengendalikannya ketika berjuang mengantarkan buah hatiku ke dunia.
Aku menggeliat dan mendorong Juna. Namun, aku sudah dalam pelukannya kini dan, percayalah, para dewa amat sangat kuat meskipun mereka pemalas. Kugigit lengan Juna, tapi dia tampak tidak merasakannya sama sekali.
“AAAAAAAAAHHH!” aku berteriak putus asa.
Aku ingin mendekap putraku, menghirup rambutnya, menyesap denting tawanya. Aku hanya mendapatkan kesempatan itu semusim hujan sekali, dan kejadian ini tidak boleh membuatku melewatkannya musim hujan ini.
Juna menangkup kepalaku dengan telapak tangannya yang besar. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tidak mau disentuhnya. Aku menangis ketika Juna menangkap kepalaku dan merapatkannya ke dadanya.
“Ssssh,” bisik Juna menenangkan. “Musim hujan berikutnya. Aku janji.”
Aku tahu apa yang akan dilakukannya.
Dia membuatku perlahan-lahan kehilangan kesadaranku.
*
Para dewa berang. Bahkan dari kamarku di puncak kastil, aku bisa merasakan getar amukan mereka. Hari-hari yang biasanya penuh suka ria di kastil para dewa digantikan oleh seruan-seruan murka. Aku tidak bisa mengerti kenapa amarah mereka tidak kunjung reda.
Ama menolak menghentikan hujan, padahal hujan sudah deras mengguyur sepenjuru Pulau Putih selama berhari-hari. Sekuat itulah seorang dewa yang sudah matang. Seorang penyihir hanya bisa membuat hujan tipis untuk satu kota seluas ini dan sulit menjangkau pedesaan di pinggir selatannya. Penyihir air juga sudah tidak muda lagi. Aku pun teringat sang penyihir tanah yang sudah renta. Mungkinkah itu sebabnya rakyat jelata kelaparan? Aku tidak heran hal itu tidak terlintas dalam benak para dewa. Mereka terlalu egois untuk memikirkannya.
Dari jendela kamarku, kulihat laut di kejauhan semakin meninggi sehingga orang-orang pesisir mengungsi ke dalam kota. Sayangnya, air sungai juga hampir sejajar dengan daratan. Malam gelap gulita karena aku tidak bisa mengabdi seperti biasanya. Kastil pun berpenerangan redup karena aku sulit mengumpulkan serpihan roh api dan cahaya dari bintang atau matahari yang terhalang awan hujan.
Pintuku diketuk.
Aku tidak bergerak dari posisiku menerawang di pinggir jendela.
“Mareni,” Juna memanggilku dari balik pintu, tapi aku tidak menyahutinya. Pikiranku terlalu penuh dengan suami dan anakku. Di mana mereka sekarang? Kalau laut semakin meninggi dan sungai meluap hingga membanjiri kota, ke mana mereka akan berlindung?
Juna memanggilku lagi dengan lebih keras, “Mareni! Buka pintunya! Ini penting!”
Aku mendesah dan dengan enggan membuka pintu. Juna menjulang di hadapanku dengan wajah berkerut cemas. Aku terpaku karena baru sekali ini melihat dewa memasang raut wajah begitu.
Lalu Juna mengucapkan kabar pentingnya itu, “Mereka hendak membiarkan Pulau Putih tenggelam.”
*
“Jangan coba-coba menghentikanku,” aku berdesis mengancamnya ketika aku menaiki tangga ke atap diikuti oleh Juna.
Juna hanya berkata, “Aku tidak akan menghentikanmu.”
Langkahku terhenti saat aku menoleh kepadanya. Dia tampak bersungguh-sungguh. Garis-garis wajahnya memancarkan ketulusan yang kukira mustahil bisa dibentuk oleh dewa.
“Bagus,” aku berpaling dan melanjutkan pendakianku.
Tanganku ditarik. Ketika aku melawan, Juna berbisik, “Aku ingin membantumu.”
Aku takut kata-kata dan gelagatnya sejauh ini tipuan belaka, jadi aku berusaha mendorongnya. Tapi kurasakan arus kekuatan mengaliri tubuhku. Hangat yang sudah lama hilang dariku kembali mengisi relung tubuhku. Juna membagi kekuatannya denganku.
Lalu dia melepaskanku. Ketika aku ternganga memandanginya, Juna mendorong lenganku dengan lembut. “Ayo,” katanya.
Hujan menyambutku dengan ganas. Seluruh keberanianku hampir padam karenanya, tapi aku tetap siap menerjang. Aku berlari ke tengah atap dan memulai ritualku. Kekuatan dari Juna meluap-luap dalam tubuhku, siap dikeluarkan.
Dengan kaki terentang, pinggulku berputar pada porosnya. Kedua tanganku mencambuk-cambuk udara yang penuh butiran hujan saat aku berusaha mengendalikan kekuatan yang diberikan Juna kepadaku. Irama yang mengiriku kini begitu pekat dengan kebulatan tekadku untuk membakar habis awan-awan kelam di angkasa.
Juna hanya menontonku, tidak melakukan apa-apa. Dia menatapku lekat-lekat, seakan untuk terakhir kalinya. Aku tidak pernah tahu apa kekuatan Juna. Mungkin apa yang baru saja dilakukannya kepadakulah kekuatannya itu, yaitu membagi kekuatan kepada orang lain, menyembuhkan dan memulihkan orang lain.
Begitu usahaku membuahkan hasil, awan menipis dan hujan merintik, aku kehabisan napas dan tenaga. Juna menopangku sebelum aku terjatuh.
“Syukurku untukmu,” bisikku lemah.
“Kasihku untukmu,” Juna mengucapkannya dengan mantap.
Saat Juna merangkul untuk mengisi tenagaku kembali, aku menatap matanya yang sewarna laut. Benarkah di balik situ, ada kasih untukku? Apakah dewa bisa mempunyai rasa kasih yang tulus? Bagaimanapun...
“Kasihku untuk suamiku. Selalu.”
Juna hanya tersenyum kecut. “Aku tahu.” Dia mendekapku semakin erat. “Aku selalu tahu. Tapi kasihku tetap untukmu... dan hanya dengan ini aku bisa memelukmu.”
Kekuatan Juna mengaliriku lebih deras daripada sebelumnya. Aliran deras itu baru berhenti ketika tubuh Juna merosot ke kakiku. Ketika jatuh, tangan Juna menyambar kakiku. Dia terus memberikan kekuatannya dari situ. Kulitnya lebih pucat dari batu gamping. Aku melihatnya tergeletak bagaikan mayat di atas lantai batu yang dingin menggigit. Aku tidak mengerti. Apakah dewa bisa mati? Apakah Juna hanya tak sadarkan diri sampai kekuatannya pulih?
Petir menyambar di kejauhan dan awan menebal lagi. Hujan, jauh lebih deras daripada sebelumnya, mengguyur Pulau Putih. Rupanya Ama dan Toga tidak ragu-ragu lagi hendak menenggelamkan rakyatnya sendiri.
Tidak ada waktu lagi.
Aku membungkuk untuk berkata di telinga Juna, “Semoga kekuatan dewata melindungimu selalu.”
Kulepaskan tangan Juna dari kakiku, dan kudengar ada langkah kaki.
Semula kukira itu Ama atau dewa lain yang naik pitam dengan tindakanku. Ternyata jubah-jubah Penyihir Pulau Putih yang muncul dari tangga. Semua rekan seperjuanganku yang tinggal di kastil ini, termasuk pria paruh baya yang diberkati oleh roh air, menghampiriku di tengah atap.
Aku berdiri. Kami semua mengerti. Bahkan kalaupun setiap serpihan roh alam dalam tubuh kami sirna setelah hari ini, kami akan tetap berusaha menghentikan hujan ini.
Sementara para penyihir lainnya mempersiapkan ritual mereka, aku mulai berlari berkeliling. Tubuh, tangan, dan kakiku melekuk sesuai petunjuk matahari dan bintang-bintang yang berada jauh di balik awan. Aku berhenti dan melompat, dan berlari lagi, mengebas dan mengibaskan tanganku senafas lidah api.
Aku adalah api yang menentang hujan yang bersikeras memadamkannya. Tapi aku tidak akan padam. Aku tidak boleh padam. Kami tidak boleh padam.
Ya, kamilah, para Penyihir Pulau Putih, yang selalu berjuang melindungi rakyat pulau ini.
*
Depok, 16 Juni 2011
No comments:
Post a Comment
Please add your comment here. Thank you ^^