Saturday, June 7, 2014

Jeruk Dini Hari

Apples Weekly #2: Jeruk

Hanya ada jeruk di kulkas. Aku sedang memikirkan itu saat sebuah motor melesat di sisi lain jendela mobilku.

Motor berikutnya melewat saat aku memikirkan ada apa selain jeruk di dalam kulkas. Aku lapar dan aku cuma punya jeruk di kulkas, tapi kulkas juga diisi oleh anggota keluarga lain, kan. Kalau tidak salah, saat berangkat tadi siang ada roti di kulkas...

Lagi-lagi roda dua hampir menyerempetku. Aku mendesah dan mengarahkan mobilku sedikit lebih ke kiri. Selain kantuknya, aku juga benci ini dari giliran jaga malam: pulang pada jadwal balap liar.


Semestinya aku tidak peduli apabila ada di antara mereka yang menabrak mobilku. Kendati biasanya kendaraan lebih besar yang disalahkan dalam kecelakaan, polisi sekitar sini tahu para pebalap liar sebandel pasien darah tinggi yang gemar makan nasi padang.

Saya akan menghormati setiap hidup insani...

Semestinya aku tidak peduli, tapi aku pasti peduli.

Ah, sial. Jangan sampai terjadi apa-apa malam ini. Setelah berjaga 12 jam, hal terakhir yang aku butuhkan adalah menyaksikan kecelakaan lalu lintas.

Aku berbelok ke jalan besar yang membelah bagian utara kotaku. Ini jalur utama para pebalap liar. Kalau aku buka jendela, pasti terdengar mesin-mesin motor itu berderu di kejauhan.

Kuusir pikiranku tentang mereka dengan mengingat pasien yang terakhir kutangani tadi. Sepertinya sepasang pacar, mereka datang dalam keadaan teler. Si laki-laki mengeluyur ke dalam rumah sakit dan merosot di lantai begitu melewati pintu. Aku sudah hendak pulang waktu itu, tapi kupikir tak ada susahnya memapah dia ke ranjang dulu. Si perempuan meracau dan mengomel tanpa henti, tapi masih berjalan dengan cukup tegak, mengikuti si laki-laki ke mana pun.

Kutinggalkan mereka kepada rekan sejawatku. Belum sempat aku keluar dari bangunan, si laki-laki berjalan cepat melewatiku; si perempuan masih mengomelinya, kali ini sambil sesekali terisak. Aku melihat mereka menyetop taksi dan pergi. Setidaknya mereka tidak menyetir sendiri dalam keadaan separuh sadar begitu.

Aku benar-benar melupakan mereka, dan mulai mengingat pemabuk lain yang pernah kubantu di rumah sakit, hingga mataku menangkap tangan yang melambai-lambai di tengah jalan. Seseorang ingin aku berhenti: salah seorang pebalap--mudah dikenali dari rompi dan jaket yang dikenakannya.

Semestinya aku tidak berhenti, tapi aku tidak bisa tidak berhenti. Aku menggelengkan kepala keras-keras untuk mengusir kantuk dan letih yang mencengkeramku sejak tengah malam.

Diapit dua motor yang diparkir seenaknya, satu motor ringsek habis menabrak tiang lampu di tengah jalan. Aku tidak habis pikir bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi. Mungkin dia oleng saat menyalip kendaraan lain? Kemungkinan besar begitu.

Dijaga satu orang pebalap lain, korbannya tidak terlihat berdarah-darah, membuatku mengkhawatirkan pendarahan dalam, seperti jeruk yang sudah ditekan tapi belum sobek.

"Pak! Pak!" panggil pebalap yang mencegatku. "Teman kami kecelakaan. Tolong bantu angkut ke rumah sakit."

Aku menahan diri untuk tidak langsung memberikan pertolong pertama. Sesuatu harus aku pastikan dulu.
"Ya, saya bantu. Naikkan dia ke mobil saya, tapi kalian ikut juga, supaya ada yang bertanggung jawab."

"Ayolah, Pak, yang penting kita tolong dia dulu."

Aku memperkeras suaraku. "Tidak bisa. Siapa yang bertanggung jawab? Dia harus ikut juga! Kalian kan ada dua. Satu orang ikut ke rumah sakit, satu orang jaga motor di sini, apa susahnya?"

Enak saja mereka mau lepas tangan. Bisa panjang urusanku kalau harus menunggu keluarga korban dulu. Itu pun kalau masih ada keluarga yang peduli kepadanya.

Mereka bertukar pandang tanpa suara, sementara teman mereka merintih kesakitan. Dalam cahaya dari tiang lampu jalan, kulit mereka terlihat oranye yang lama-lama mempunyai tekstur seperti jeruk.

Aku memicingkan mata, berusaha menghilangkan pengaruh cahaya itu. Sekarang aku malah melihat tubuh mereka menebal dan membengkak.

Mereka menjadi tiga jeruk raksasa dengan tangan, kaki, dan kepala manusia.

Cahaya lampu mobil lain menyoroti kami. Aku menoleh dan mendapati sebuah pikup mendekat dengan kecepatan diturunkan. Jeruk, maksudku pebalap, yang tadi memohon kepadaku bergegas mencegatnya. Badan jeruknya bergoyang-goyang saat menjelaskan keadaan mereka kepada pengendara pikup.

Pengendara pikup tampak setuju dan kedua jeruk sehat memapah jeruk korban ke arah pikup. Sekali ini biarlah aku tidak tahu kelanjutannya. Aku sudah dengar dia akan dibawa ke rumah sakit, itu cukup.

Aku kembali ke dalam mobilku dan melaju meninggalkan lokasi kecelakaan, mencemaskan apabila benar-benar hanya ada jeruk di kulkas.


P.S. Ini dramatisasi kisah nyata seorang teman di Yogyakarta.

6 comments:

  1. cerita keseharian yang sederhana tapi memberi sesuatu yang lebih...
    jeruknya memberi kesan "unik" hehe... apa ya, sepertinya ada istilah yang lebih tepat..
    jadi ingat cerita seorang temanku yg dokter, di mana2 sama ya, sering ada orang mabuk yang masuk RS

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih, kakak =D
      sebenarnya aku agak maksa masukin tema jeruk ke kejadian ini, tapi hasilnya lumayan yah, hehehe

      Delete
  2. wah cakep bener ya dramatisasi dari hal sederhana bisa jadi sebuah bacaan (yang bisa dibaca) sekali duduk yang renyah :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih xD
      kejadian2 random begini kadang2 menarik untuk ditulis

      Delete

Please add your comment here. Thank you ^^

Labels

life (37) hobby (22) movie (21) review (20) GRE (16) poem (12) study (12) work (11) game (8) social (8) translation (7) business (6) dream (6) economy (6) novel (6) music (5) Facebook (3) friendship (3) linguistics (3) manga (3) marketing (3) self-actualization (3) IELTS (2) language (2) money (2) culture (1) gender (1) leadership (1) literature (1) name (1) peace (1)