Saturday, May 24, 2014

Tentang Seseorang yang Tidak Sempat Memakan Apelnya Pagi Tadi

Apples Weekly #1: Makan Apel

Bangun kesiangan, terburu-buru berangkat ke kantor, aku bahkan lupa membawa apel yang semestinya kumakan sambil menunggu kereta api. Aku sudah mencucinya, lalu entah bagaimana tertinggal di meja. Lalu aku sadar penyerantaku juga tidak ada di saku maupun tas.

Beginilah nasib bujangan, tidak ada yang mengingatkan untuk membawa apa-apa, apalagi memberiku cium selamat pagi.

Tapi kesendirianku akan berakhir bulan depan. Karena itulah aku pindah ke rumah yang sedang kucicil, meninggalkan kosan yang berjarak lima menit jalan kaki dari kantor.

Teringat cincin yang kusimpan di lemari kamar membuatku tersenyum sendiri. Untung kereta sedang memasuki stasiun, jadi perhatian semua orang tertuju kepada ular besi itu.



Suasana kantor hari ini tegang. Sepertinya proyek besar yang sedang dikerjakan rekan-rekan seruanganku tertimpa masalah. Aku tidak sempat menanyakannya kepada mereka. Aku terlalu sibuk dengan proyekku sendiri. Proyekku sesungguhnya tidak sulit. Tapi hampir semua orang sedang diberdayakan untuk proyek besar itu. Jadi proyek ini hanya kukerjakan berdua dan rekan setimku itu malah sedang cuti.

Tahu-tahu matahari sudah menggantung di balik jendelaku, pertanda jam kerja hampir usai. Aku merentangkan badan dan heran bagaimana aku bisa melewatkan makan siang, padahal aku sudah alpa untuk sarapan.

Aku kemudian sadar ruanganku hampir kosong. Mungkin mereka sedang rapat untuk proyek besar itu.

Aku pulang begitu genap jam lima. Kalau aku langsung mendapatkan kereta, aku bisa sampai di rumah jam setengah tujuh. Sesudah makan malam, aku akan langsung ke wartel dan menelepon tunanganku. Lembur kemarin membuatku pulang sesudah wartel tutup.

Makan malam apa? Gerobak nasi goreng dan bakso menggodaku, tapi aku ingat aku masih punya apel di rumah. Cukuplah aku mandi dan makan apel sebelum pergi ke wartel. Atau kubawa saja apel itu ke wartel sekalian? Menelepon kekasih sembari memakan apel pemberiannya terdengar romantis.

Aku berbelok ke sudut perumahan tempat rumahku berada dan menemukan keramaian.

Dua mobil polisi diparkir di lapangan kecil di depan rumahku. Orang-orang berkerumun juga di antara lapangan dan rumahku. Bahkan kemudian terdengar mobil lain melewatiku dan aku melihat logo stasiun televisi di situ. Seorang reporter berseragam keluar dari mobil, lalu sebuah kamera diturunkan. Dengan sigap reporter dan juru kamera menerobos kerumunan untuk menanyai polisi... di balik pagar rumahku.

Aku mengekor di belakang mereka, melewati pita kuning yang sudah dipasang. "Apa yang terjadi dengan rumah saya?" seruku, tapi tak ada orang yang mendengarku. Bukankah semestinya aku, penghuni rumah, menarik perhatian mereka. Tapi aku tidak tahu apa-apa, jadi mungkin karena itu mereka tidak menoleh dari dua polisi yang mencegat agar mereka tidak masuk.

"Apa yang terjadi, Pak? Boleh tolong jelaskan?"

"Perampokan terjadi pagi tadi, ketika korban hendak berangkat ke kantor."

"Pagi hari, Pak? Bukan dini hari?" Reporter terdengar terkejut.

"Ini modus baru. Kejahatan dilakukan pagi hari, antara jam 7 dan 8, ketika orang-orang baru berangkat ke kantor dan mengantar anak-anak ke sekolah. Pelaku memperhitungkan rumah kosong pada saat itu."

Merampok rumahku? Televisi saja aku tidak punya! Aku tertawa miris. Lalu aku teringat cincin kawinku. Kulewati mereka dan masuk ke dalam rumahku. Mereka bahkan tidak melirikku, mungkin sudah dengar tadi aku menyebut "rumah saya".

Dari dalam rumah aku masih mendengar percakapan mereka.

"Kali ini pelaku salah perhitungan."

"Ya. Tega sekali. Sesudah membunuh penghuni rumah pertama pun dia masih merampok rumah kedua."

Rumahku terdiri dari ruang tengah yang terhubung dengan dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Di ruang tengah ini hanya ada dua kursi plastik mengapit sebuah meja makan kecil. Aku ingat menaruh apelku di meja itu. Sekarang apelku tergeletak di kaki meja, dilingkari garis kapur putih.

Di sampingnya ada garis kapur yang lebih panjang, berkelok membentuk sosok manusia yang jatuh dengan satu tangan terulur. Ubinku yang kuning kecokelatan dinodai merah gelap, warna yang sama dengan apelku.

No comments:

Post a Comment

Please add your comment here. Thank you ^^

Labels

life (37) hobby (22) movie (21) review (20) GRE (16) poem (12) study (12) work (11) game (8) social (8) translation (7) business (6) dream (6) economy (6) novel (6) music (5) Facebook (3) friendship (3) linguistics (3) manga (3) marketing (3) self-actualization (3) IELTS (2) language (2) money (2) culture (1) gender (1) leadership (1) literature (1) name (1) peace (1)