Sunday, December 15, 2013

Cerpen: Sahabatku Maya

(Cerpen ini diikutsertakan dalam LMCR 2011)

Maya menangkapkan kupu-kupu untukku setiap hari.


Begitu aku sampai di kamar sepulang sekolah, aku selalu menemukan sahabatku itu duduk di pinggir kasur. Senyum hangatnya pasti mengembang menyambut kedatanganku.

“Kau pasti suka,” ucap Maya seraya mengulurkan kupu-kupu yang hinggap jari telunjuknya.

Kupu-kupu dari Maya hari ini berwarna oranye dengan bintik-bintik ungu, kugantung di tirai jendela kamarku yang tertutup. Kini kupu-kupu itu bergabung bersama banyak kupu-kupu lain yang semua kudapatkan dari Maya. Cokelat muda bermata merah bata. Hijau mangga berhiasan berlian-berlian kuning terang. Bening dengan torehan pelangi. Semuanya hidup, mengepakkan sayap mereka naik turun perlahan.

“Di mana kau menemukannya?” tanyaku sambil memperhatikan sayap kupu-kupu baruku.


Maya memandangku dengan matanya yang cemerlang, lalu bertutur, “Ada pulau di tengah samudra, terentang sepanjang garis khatulistiwa. Pantainya berpasir putih dan hutannya mempunyai segala warna hijau yang bisa kau bayangkan. Anginnya selalu bertiup semilir, membawa aroma rempah-rempah dan harum air kelapa. Penduduknya menyebut tempat itu Pulau Putih. Kau pasti senang jika bertandang ke sana.”

Angin kecil mencuri masuk hingga ujung-ujung tiraiku menari sekejap. Samar aroma rempah-rempah dan harum air kelapa menyelusup ke lubang hidungku. Desau bunyi air bertabrakan menggelitik telingaku. Ingin kubuka jendelaku sekarang juga, tapi aku tak mau merebut kesempatan Maya. Maka aku hanya bertanya, “Ramaikah penduduknya?”

“Kurasa sebaiknya kau lihat sendiri,” Maya beranjak dari kasurku. Rok panjangnya menyapu lantai dan rambut panjangnya mengayun terurai selembut mayang. Gerakannya selalu gesit dan mengalir; tak pernah terungkap olehku bagaimana ia bisa bergerak sehalus dan selincah itu sekaligus.

Tirai jendelaku bergerisik saat Maya menyingkapnya. Tampaklah dunia yang putih hangat meruap. Buih-buih ombak menjilati putih pantai di balik satu daun jendelaku. Kusibak daun jendela yang satu lagi dan mendapatkan bentangan hijau meraba pasir surgawi. Semburat langit biru pirus mengintip dari atas terpal hijau itu.

Sebelum sepatah kata pun tergulir dari lidahku, Maya melompati kerangka jendelaku. Tentu saja aku menyusulnya. Pasir menelusup sela jari-jari kakiku. Sang bayu bermain-main mengusap pakaianku. Tanganku meraih bajuku agar tidak terbawa angin nakal itu, tapi bahannya terasa berbeda. Aku menunduk dan rupanya seragam sekolahku telah berganti dengan baju dari kulit binatang, mungkin lembu. Baju ini membalutku dengan ketebalan dan kerapatan yang pas sekali, seakan-akan memang aku mengenakannya sehari-hari.

Kami melihat perumahan tepi pantai yang apik tidak jauh dari tempat kami berdiri. Rumah-rumah itu tampak terbuat dari batang pohon dan anyaman ranting. Anak-anak ramai berkumpul di sana. Dalam setengah lingkaran, mereka menari-nari seraya mendendangkan lagu yang belum pernah kudengar tapi hatiku segera mengenalinya.

asa hasainya, hasainyarindukan welas, las, laslamun diabai, diabaibawangnya retas, tas, tas

Hasratku tertarik mendekati mereka, begitu pula Maya. Bagaikan senur layangan digulunglah kami melangkah ke sana, tapi mendadak kakiku menginjak sesuatu yang kecil dan licin. Kupungut sesuatu itu, cangkang kerang kecil sebiru laut dengan bersit-bersit sejernih riaknya.

Aku menangkap tangan kanan Maya dan menjejalkan bekas naungan makhluk laut itu ke dalam kepalannya. “Untukmu,” kataku malu-malu. “Tidak seindah kupu-kupu darimu, memang.”

Binar mata Maya menghiasi tawa senangnya, “Makasih. Cantik sekali.”

Dendang anak-anak itu semakin terdengar. Tanpa sadar langkahku turut melonjak dan bersenandung, “Asa hasainya, hasainya... Rindukan welas, las, las...”

Sekonyong-konyong hujan tumpah dari langit yang tak berawan. Anak-anak berhamburan masuk ke dalam rumah mereka. Aku menoleh dan tidak menemukan Maya di mana pun, membuatku terperanjat.

“Maya! Maya!” aku pun berlari ke sana ke mari, mencari-cari. “Jangan tinggalkan aku!” Dadaku tercekat panik. Aku berpaling kepada laut. Alunan ombak meninggi membentuk cakar-cakar air yang terjulur hendak menggapaiku. Aku berlari saat gulungan air raksasa itu menerjang, tubuhku diterpa air dari atas dan belakang. Segenap pulau sunyi senyap. Tinggal masalah waktu hingga sang banyu yang murka menyambar dan melarutkanku ke dalam kandungannya...
***

Aku megap-megap di atas tempat tidur.

Wajahku basah, langsung kuseka dengan lengan bajuku. Seragam sekolah. Baju kulitku lenyap secepat kemunculannya.

“Kalau mau tidur siang, setidaknya mandi dan ganti baju dulu!” geram suara nyaring yang tidak asing di telingaku. Aku mendongak dan menemukan wanita yang harus aku panggil Mama. Seperti biasa, wanita itu berkacak pinggang dan mendelik kepadaku. Di tangan kanannya bergantung gayung kosong.

“Maya,” kataku sambil celingukan. “Tadi Maya langsung mengajakku—”

Alis wanita itu mengerut membentuk sepasang iringan semut yang melengkung. Sekilas bisa kulihat ada sesuatu di dalam matanya, sesuatu yang enggan aku tafsirkan. Akhirnya ia menggeleng dan dari mulutnya terucap, “Maya sudah pulang.”

Mataku melacak keberadaan lemari baju, lalu menghampiri dan menggaruk-garuk mencari kaus. “Tadi Maya mendadak pergi. Tiba-tiba saja. Padahal kami sedang berjalan di pulau. Pasirnya putih. Ada anak-anak—”

“Cepat mandi lalu turun. Sebentar lagi kita makan malam. Papa dan Adik sudah lapar.” Kata terakhirnya disusul debam pelan pintu ditutup.

“Tak pernah mendengarkanku, barang sebentar saja,” aku menggerutu. Kaus, kaus, kaus. Kulempar setumpuk kausku ke atas dipan. Merah, jingga, kuning, biru... Ah, Mama salah mengurutkannya lagi. “Memang tak pernah mendengarkanku, meski sekejap saja.”

Aku tarik kaus biru yang salah alamat itu. Sebuah butir yang berkilat terjatuh menggelinding di atas sepraiku. Cangkang kerang biru laut dengan percikan ruap ombak. Kuletakkan benda itu di atas meja belajar.

Maya pulang begitu saja tanpa membawanya.
***

Mama dan Papa selalu menanyakan sekolahku.

Mereka tidak pernah mau mendengar tentang Maya. Setelah berkali-kali aku bersikeras mengembalikan pembicaraan kepada perihal kunjunganku ke Pulau Putih bersama Maya, Mama lagi-lagi berkata, “Maya sudah pulang. Kau tak perlu membicarakan dia lagi, Citra.”

Aku melirik Papa tapi pria itu cuma membuang muka dan mengalihkan perhatiannya kepada adikku.

Tak pernah mau mendengarkanku, Mama dan Papa itu.

Aku diam saja sementara mereka membahas adikku. Adik begini. Adik begitu. Setiap untai kata yang dilontarkan adikku pasti ditanggapi dengan riang. Setiap gumam adikku mengundang tawa mereka. Semua orang mendengarkannya dengan saksama, padahal dia bahkan belum bisa merangkai satu kalimat utuh!
Memang cuma Maya yang peduli kepadaku, tapi tetap saja...

asa hasainya, hasainyarindukan welas, las, laslamun diabai, diabaibawangnya retas, tas, tas

Lagu itu terngiang-ngiang di dalam kepalaku, membuatku mual.

“Terbayang olehku bagaimana hidupmu sebelum ada adikmu,” bisik Maya. Bola mataku langsung melesat membidik sosok sahabatku di sisi kiriku, berpegangan kepada pagar tangga. Aku membuka mulutku hendak berujar, tapi Maya sudah membalik badan dan menanjaki anak tangga satu per satu. Mataku mengikutinya kuncir kudanya yang terlenggang. Tubuhnya segera lenyap ditelan langit-langit.

Terburu-buru kuhabiskan segala yang tersisa di atas piringku.

“Citra! Makan pelan-pelan!” hardik Mama.

Papa malah mendukungnya, “Berikan contoh yang baik untuk Adik.”

Aku menenggak air dari gelasku sebelum bergumam, “Maya menunggu di atas.” Aku berpacu meninggalkan mereka, tanpa menghiraukan bentakan-bentakan Mama yang mengiringi jejakku.
***

Maya duduk menantiku di pinggir kasur seperti biasa.

Kupikir di samping sahabatku itu bertengger kupu-kupu berwarna tiramisu. Begitu mendekat, aku sadar itu bukan kupu-kupu, melainkan ngengat dengan pola mata yang sangat besar pada sayapnya. Maya mendiamkan saja makhluk itu, tidak mengulurkannya sebagaimana ia selalu memberikan kupu-kupu.

Aku mengambil tempat di samping Maya. Ngengatnya hinggap di antara kami, sayapnya tidak bergerak.

“Sebelum ada adikmu, kita bermain setiap hari,” Maya mendongak memandang langit-langit, seperti hendak menemukan masa lalu kami.

“Sekarang kita bahkan bertualang setiap hari,” aku mengingatkannya.

Kepala Maya tidak diturunkan. “Tapi dulu tidak ada yang meragukan kita.”

“Memang...”

“Mungkin mereka akan mempercayai kita lagi … kalau adikmu tidak ada.”

Sayap ngengat di sampingku berkelepak, berayun pelan. Sepatah kata saja tanggapanku, “Mustahil.”

Maya menyejajarkan wajahnya dengan wajahku lagi. Ia menatapku dengan pandangan yang merasuk ke dalam sukma. “Oh, Citra. Kau tahu betapa sederhananya itu.”

Tanpa menoleh pun bisa kurasakan kibasan ngengat itu bertambah kencang.

Maya melanjutkan dengan suara yang berdengung menghanyutkan, “Adikmu tidak ada. Begitu kau berhasil mewujudkan itu, segalanya akan kembali kepadamu.”

Kucimit ngengat dari kasurku dengan sebelah tangan. Sayapnya masih mengepak-ngepak, bertambah cepat, secepat degup jantungku. Aku tangkap salah satu sayap itu, lalu kurenggut hingga putus. Sayap itu kusut teremas dalam genggaman tanganku yang satu lagi. Kulempar gumpalan sayap kumal dan sisa badan ngengat yang tercabik itu keluar jendelaku. Langit hitam pekat di atas lampu-lampu perumahan. Sungai cokelat buram mengular di tengah-tengahnya.

Debar jantungku enggan melambat. Kepalaku berdenyut serasa terhimpit di antara dua batu karang. Aku menggeleng berusaha menghalau sirapnya hatiku, berupaya menjernihkan benakku, tapi perasaan ini malah bertambah kuat melandaku. Dengan payah kupegangi leherku yang bergembut-gembut menyesakkan.

Kuhirup napas yang tajamnya menusuk-nusuk tenggorokanku. Kesudahannya, tanpa menoleh, aku berucap dengan sengit, “Aku tidak mau ngengat.”

“Akan aku bawakan kupu-kupu lagi esok.”

Saat aku berbalik, Maya sudah pergi. Aku lirik mejaku. Cangkang kerang birunya kali ini tidak terlupakan.
***

Bantalku terasa seberat karung beras ketika kuseret menyusuri lorong.

Kegelapan selalu mencekamku, aku yakin Mama dan Papa tahu itu. Tentu saja mereka tetap mematikan semua lampu selepas jam tidur. Mereka tidak ingin aku keluar dari kamarku, tidak mau berurusan denganku lebih lama daripada yang seharusnya. Pasti begitu.

Kali ini aku menantang kegelapan. Hatiku tidak kecut, karena Maya menyertaiku.

Sudah lama adikku tidur di kamar sendiri. Pintunya tidak pernah dikunci agar Mama dan Papa bisa segera datang kalau ia menangis. Kudorong pintu itu perlahan. Bunyi deritnya begitu halus sampai-sampai teredam detak jam dinding.

“Sebuntal nyawa yang cantik,” dengung Maya yang menjulang di atas kepala adikku. “Ranum. Mudah dipetik.”

“Jangan berisik,” desisku. Kuangkat bantalku sejajar dengan dada. Saat memandangi adikku, alih-alih melancarkan niatku, entah kenapa aku malah berbisik, “Mama selalu berkata kau sudah pulang.”

“Tapi aku selalu kembali lagi, kan? Nah, sekarang taruh bantal itu dan tekan. Tekan terus sampai dia diam. Sesederhana itu.”

Tanganku bergerak sendiri menurutinya, bagaikan boneka marionet dengan tali yang mengendalikan tangan dan kakiku dari balik langit-langit. Ketika adikku menggeliat, aku menekan lebih keras. Aku tidak merasakan apa-apa... sama sekali.

“Mudah, kan?” Maya memiringkan kepalanya dengan khidmat. “Mungkin nanti wajahnya biru seperti aku dulu.”

Dahiku mengerut. Kulit kepala di atas telingaku berkedut pelan. “Seperti kau? Apa maksudmu?”

“Ah, kau tidak ingat. Biru seperti setelah kau mendorongku jatuh ke sungai.”

Demi menguji kebenaran perkataan sahabatku itu, aku berusaha menjangkau ke dalam ingatanku, namun bagaikan pagar kuat yang digembok dan kabut tebal menguasai daerah di balik pagar itu. “Kau terpeleset,” gumamku.

Maya mendesah, matanya berkilat-kilat. “Benar itu katamu dulu kepada semua orang. Tapi kau dan aku tahu kenyataannya.”

Kilat di mata Maya membuatku hatiku bergemuruh. “Kau terpeleset,” aku mengulang kata-kataku dengan lebih pelan. Geliat adikku juga lebih pelan, tepat ketika sebutir peluh tumbuh di dahiku. Degup jantungku mulai mempercepat iramanya, menjadi iringan lagu yang sumbang. Entah kenapa, tanganku meraih gembok pagar itu.

“Tatap aku, Citra, lalu ulangi ucapanmu itu.” Nada suara Maya membuatku gentar. Titik keringat itu kini menuruni pelipisku, tatkala saudara-saudaranya bermunculan hendak menyusul. Gembok di tanganku luruh menjadi butiran-butiran pasir, lalu membuka dengan perlahan yang mengimpit paru-paruku.

Dengan napas memburu, aku menggigit bibir dan memberanikan diri melirik Maya. Di sanalah, di balik dinding ingatanku, Maya mewujud dalam sosoknya sepuluh tahun lalu, bocah yang baru saja masuk SD. Tapi ada yang tidak beres pada rupanya. Berada di hadapanku kini bukanlah anak perempuan dengan mata cemerlang dan senyum hangat selalu terlukis pada wajah Maya sejak hari pertama aku mengenalnya. Bengkak kepalanya membuat perutku bergejolak, biru wajahnya menyebar bagai jaring laba-laba. Rambutnya berlumuran cokelat tua menjijikkan. Matanya membelalak kepadaku. Makhluk yang mewujud dari sosok sahabatku itu seketika menerjang ke arahku.

Sontak aku menjerit dan melepaskan tanganku. Kuangkat kedua tanganku menjadi tameng untuk menangkal makhluk mengerikan itu. Tangis adikku meledak meraung-raung, mengundang derap kaki panik yang terdengar di lorong beberapa detik kemudian.

Aku mundur, makhluk itu mengejarku. Aku tersandung ke samping, ia tetap menempelku. Ketika punggungku merapat dengan dinding, ia merentangkan kedua lengannya dan mengurungku di antara anggota gerak tubuh atasnya itu. Samar terdengar suara rintihan, beberapa saat kemudian barulah aku sadar suara itu berasal dari mulutku.

“Kau tak pernah mengakui perbuatanmu, ya? Kau bahkan tak mengakui ketiadaanku.” Wajah Maya kini menjadi hijau membusuk, hanya beberapa jengkal dari wajahku sendiri. Matanya berlendir dan membengkak.

Terlepas dari seberapa pun mengerikannya sosok yang mata kepalaku saksikan, mata batinku lebih hancur menemukan segala yang selama ini tersembunyi di balik dinding ingatanku. Maya kecil dengan tawanya yang berdenting, kuncir rambutnya yang kerap kali terbuncang-buncang lembut, senyumnya yang hangat meluluhkan hati, suaranya yang bening mengundang semua orang untuk terus mendengarkan.

Siluet-siluet gelap berkelebat. Dalam sosok kecil kami, aku dan Maya bermain di kamarku, berlarian di halaman rumahku, menjelajahi tanah kosong di dekat sungai. Maya gadis kecil yang bagaikan kupu-kupu. Seandainya Maya tidak ada, mungkin akulah yang menjadi kupu-kupu. Kalau Maya tidak ada, segalanya akan kembali kepadaku. Sesederhana itu. Sepasang kaki kecilku melonjak ke pinggir, disusul sepasang kaki sahabatku. Dua tangan kurusku terulur...

“Tidak! Tidak!” Aku mundur menjauhinya, menjerit-jerit sambil menutupi telingaku. “Kau terpeleset ke sungai. Kau tidak mati, Maya. Pasti ada yang menolongmu, karena kau tetap datang untuk bermain di kamarku setiap hari. Jadi, itu bukan salahku!”

Orangtuaku menghambur masuk. Mama menyerbu lebih dulu, tanpa buang-buang waktu langsung meraup Adik. Papaku berusaha mendekatiku, tapi berhenti ketika kakinya menginjak bantalku. “Kau sedang apa di sini, Citra?”

“Bukan aku! Itu Maya!” Dengan mata nanar menatap Papa, aku menunjuk-nunjuk Maya di depanku. “Maya! Maya yang...” kalimatku terputus karena lagi-lagi mendadak Maya tidak terlihat di mana pun. Sepanjang dua detik yang mencekik saat mataku mencari sosoknya, jantungku menolak berdetak.

Mama mengusap dan menimang Adik. Sekilas wanita itu melirikku curiga dengan matanya yang berkaca-kaca sebelum meninggalkan ruangan.

Sementara mata Papa, mata itu menusukku saat dengan tegas dia mengucapkan apa yang menurutnya kenyataan, “Maya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kau dan Maya bermain di pinggir sungai. Kau sendiri yang bilang Maya terpeleset. Jasadnya ditemukan malam hari itu juga.”

Aku menggeleng kuat-kuat, tapi suaraku lemah, “Tidak mungkin.”

“Oke, Citra. Kita bahas itu nanti. Sekarang kau kembali ke kamarmu dan tidur.”

Papa membimbingku keluar dari kamar itu, tapi begitu melewati pintu, kakiku menapak sesuatu yang licin dan basah. Tanah dengan rumput yang basah berembun. Bibir sungai menganga setapak saja dari ujung jari-jari kakiku. Di bawah sana, dua tangan mungil menggapai-gapai dari balik air, sebentar saja terlihatnya karena arus sungai yang kecokelatan langsung menyeret gadis kecil itu kuat-kuat. Semua itu aku saksikan dengan tubuh dan hati yang tak tergerak barang sekejap pun untuk mengejarnya.

Kamu.

“Bukan salahku! Bukan salahku! Maya meninggal bukan gara-gara aku! Bukan aku!” Tubuhku merosot kisut ketika mulutku mengulang-ulang dua kata terakhir, lagi dan lagi hingga kegelapan menenggelamkanku.
***

Maya duduk menantiku di pinggir kasur seperti biasa.

Di kamarku yang baru ini, dia duduk di situ sepanjang hari, sepanjang waktu. Semuanya putih bersih, lebih putih daripada pasir Pantai Putih. Tempat tidur yang diduduki Maya merupakan perabot satu-satunya. Untuk menghindari Maya, aku meringkuk di sudut, menunduk dalam. Tidak mau aku menatapnya, jangan sampai mataku tak sengaja menangkap sosoknya meski hanya sekilas.

“Ayolah kemari, Citra,” bujuk Maya dengan suara semanis dengkur kucing belia. “Lihat, aku bawakan kupu-kupu untukmu.”

Desir halus terbang mendekatiku. Aku melirik dan melihat ngengat bersayap satu mengambang naik turun dengan jalur miring ke arahku. Mata serangganya yang kosong menyalahkanku.

Memang kamu.

“Pergi! Pergi!” aku memekik-mekik. Tanganku menebah-nebah mengusir ngengat itu.

Di antara pekikanku, terdengar suara tawa Maya. Ngengat itu tidak mau pergi juga, bahkan melekat ke tanganku. Aku tarik, aku hela kuat-kuat, tapi makhluk mati itu tidak mau lepas juga. Kugaruk tanganku sambil menjerit-jerit, antara sakit dan ngeri. Darahku mulai menetesi lantai.

“Ikutlah denganku.” Maya beranjak dari ranjang. Matanya kosong dan berkilat.

“Tidak mau! Pergi kau!” teriakku. Ketika Maya malah mendekatiku, aku menutup wajahku dengan kedua tangan dan berseru, “Aaaaargh!”

Kini Maya membayang di hadapanku. “Kenapa? Tidak biasanya kau penakut begitu. Kita akan bertualang seperti biasa, hanya saja kali ini lebih jauh.”

“Aku tidak mau,” gumamku parau. Penglihatanku memudar akibat perasaan mengimpit yang semakin erat mencengkamku ini, kemudian samar-samar terdengar pintu dibanting dibuka. Sekelebat orang-orang berpakaian putih menyergapku. Sesuatu yang tajam menyengatku. Ngengat? Ngengat tidak bisa menyengat, kan?

Entah.

Segenap kamar hanyut dalam pusaran kabur yang berkedip-kedip. Sementara dendang lagu kanak-kanak itu terngiang kembali, aku cuma bisa berharap Maya tidak membawaku ke mana pun. Dengan sisa kesadaranku, aku hanya bisa berdoa Maya tidak membawa kami ke tepi sungai itu lagi.

asa hasainya, hasainya...


Depok, 2011

No comments:

Post a Comment

Please add your comment here. Thank you ^^

Labels

life (37) hobby (22) movie (21) review (20) GRE (16) poem (12) study (12) work (11) game (8) social (8) translation (7) business (6) dream (6) economy (6) novel (6) music (5) Facebook (3) friendship (3) linguistics (3) manga (3) marketing (3) self-actualization (3) IELTS (2) language (2) money (2) culture (1) gender (1) leadership (1) literature (1) name (1) peace (1)